Keuskupan
Agung Makassar
" KELUARGA BERWAWASAN
EKOLOGIS "
Kepada para Pastor,
Biarawan-Biarawati dan segenap Umat Katolik Keuskupan Agung Makassar: salam
sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, “gambar Allah yang tidak kelihatan,
yang sulung, lebih utama dari segala sesuatu yang diciptakan, karena di dalam Dialah
telah diciptakan segala sesuatu” (Kol. 1:15-16a). Lingkaran 3-tahunan gerakan
APP Nasional 2017-2019 mengangkat tema besar “Penghormatan dan Penghargaan
Keutuhan Ciptaan demi Kesejahteraan Hidup Bersama”. Subtema pertama pada tahun
2017 ini berjudul “Keluarga Berwawasan Ekologis”. Marilah kita merenungkan
topik ini bertitiktolak dari Kitab Suci, sabda Allah.
1.
Indah Rencana Tuhan
Kitab Kejadian menampilkan dua
model penciptaan manusia oleh Allah. Model yang disebut pertama, ialah melalui
Sabda atau Firman. “Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita…. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya …;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:26-27). Menurut para
ahli, model ini bersumber dari tradisi P (Priestercodex, dari masa sesudah
pembuangan: sejak akhir abad ke-6 B.C). Sedangkan model kedua menggambarkan
Tuhan Allah bagai pematung, yang “membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi
makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). Model ini, menurut para ahli, sumbernya adalah
tradisi Y (Yahwis), yang sesungguhnya jauh lebih tua dari tradisi P, karena
berasal dari sekitar abad ke-10 B.C.
Pertanyaan yang penting diajukan,
ialah: untuk apa Tuhan Allah menciptakan manusia? Pastilah bukan untuk
kepentingan-Nya sendiri. Mengapa? Karena Allah itu Mahasempurna, tidak ada satu
pun kekurangan dalam Diri-Nya. Maka Ia tidak memerlukan apa pun dari luar
Diri-Nya. Jadi apa sesungguhnya tujuan Tuhan Allah menciptakan manusia? Jawaban
atas pertanyaan ini ditemukan dalam kisah taman Eden (Kej. 2:8-25):
“Selanjutnya Tuhan Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah
ditempatkan-Nya manusia yang dibentuknya itu. Lalu Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai
pohon dari bumi, yang menarik dan baik untuk dimakan buahnya; dan pohon
kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik
dan yang jahat” (2:8-9). Di situ ada sungai yang mengalir untuk membasahi taman
itu (2:10-14). Di taman Eden itu juga Tuhan Allah membentuk dari tanah segala
ternak (2:20), binatang hutan dan burung-burung di udara (2:19.20).
Di taman Eden itu pulalah Tuhan
Allah menjadikan penolong bagi manusia itu, yang sepadan dengan dia: “Tuhan
Allah membuat manusia itu tidur nyenyak … Tuhan Allah mengambil salah satu
rusuk daripadanya … Dan dari rusuk … itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan,
lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia
tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab
ia diambil dari laki-laki’. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah
dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
(2:21-24). Jadi lembaga keluarga sebagai ikatan cinta kasih suci antara
suami-isteri sudah ditegakkan Allah sendiri sejak awal mula. Di atas kita sudah
melihat, bahwa juga dalam model penciptaan melalui Sabda ditegaskan Allah
menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Berdasarkan ketetapan sejak semula
ini, Yesus Kristus kemudian menegaskan, “Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6; Mrk. 10:9).
Adapun keluarga manusia pertama
itu hidup berbahagia di taman Eden, dalam lingkungan yang harmonis, segala
kebutuhan terpenuhi, dan mereka berada dalam relasi akrab dengan Tuhan Allah.
Tuhan Allah digambarkan sering “berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari
sejuk” (3:8). Sebagai gambar dan rupa Allah, tentu saja manusia tidak dapat
hanya duduk bermalas-malas di taman Eden. Sebagaimana Allah sendiri terus
berkarya, manusia juga harus terus bekerja “mengusahakan dan memelihara taman
itu” (2:15).
2.
Dirusak oleh Dosa
Akibat dosa, kebahagiaan keluarga
manusia pertama, yang disimbolkan dengan taman Eden, hilang. Apa sesungguhnya
hakekat dosa manusia/keluarga pertama itu? Mereka diciptakan “menurut gambar
(selem) dan rupa (demût) Allah”. Kata Ibrani selem berarti copy yang persis
sama dengan aslinya, reproduksi; sedangkan demût berarti serupa, mirip. Sebagai
gambar dan rupa Allah, manusia tidak dapat tidak harus tetap dalam ikatan
ketergantungan pada Allah. Sebuah reproduksi atau ‘yang mirip’ tidak dapat
berubah menjadi ‘yang asli’. Tetapi itulah yang terjadi dengan kisah kejatuhan
manusia (Kej. 3): Manusia tidak tunduk kepada Allah; ia melepaskan
ketergantungannya pada Allah, dan mau menjadi Allah sendiri. Sebagai akibatnya,
rencana asli penciptanya ditunggangbalikkan: kisah kebahagiaan (taman Eden)
menjadi kisah penderitaan, sejarah keselamatan menjadi sejarah kemalangan. Dan
ini mengena semua dimensi relasional manusia:
a)
Hubungan Manusia dengan Allah:
Akibat dosa putuslah hubungan akrab antara manusia dengan Allah, yang
dilambangkan dengan pengusiran manusia dari taman Eden (Kej. 3:22-24). Sebagai
konsekwensi putusnya hubungan dengan Allah ini, manusia diserahkan kepada
penderitaan dan kematian yang menakutkan (maut). “Dengan berpeluh engkau akan
mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari
situlah engkau diambil” (3:19). Ganti menerima kehidupan ilahi sebagai anugerah
(“Tuhan Allah … menghembuskan nafas ke dalam hidungnya”, Kej. 2:7), Adam dan
Hawa, pasutri pertama itu, membuang hidup ilahi itu, dan sendiri mau menjadi
allah dengan makan buah terlarang (=tidak tunduk kepada Allah). Akibat ketidaktaatan
ini manusia menghancurkan kehidupannya. Kematian yang seharusnya hanya
merupakan peralihan final kepada Allah, kini tidak lagi berupa gejala kodrati
(biologis) semata. Kini kematian itu menjadi pengalaman fatal, menandakan
penghukuman, kematian abadi. Dengan menolak hukum batin, yang merupakan
kehadiran ilahi dalam dirinya, manusia diserahkan kepada dirinya sendiri,
kepada otonominya yang salah. Sejarah mencatat kegagalan-kegagalan berulang
kali dari orang-orang yang menyangka dapat menyamai Allah dan kemudian hanya
berjumpa dengan kematian, berupa maut yang menakutkan.
b)
Hubungan Manusia dengan
Sesamanya: Hal pertama yang ditemukan Adam dan Hawa, si pendosa, ialah bahwa
mereka telanjang (3:7.10-11). Apa yang sampai saat itu hanya berupa simbol, kini
menjadi pemisahan. Ketika ditanya Allah, Adam mempersalahkan isterinya (taktik
mengelak dari tanggungjawab dengan melempar kesalahan kepada yang lain), dan
dengan demikian dia menjauhkan diri dari isterinya (3:12). Allah kemudian
memberitahu mereka bahwa kesatuan mereka (sebagai “satu daging” = kesatuan
perkawinan/keluarga) telah rusak. Relasi mereka akan dikuasai oleh dorongan
naluri dan nafsu, oleh iri hati dan dominasi; dan buah cinta mereka (anak)
hanya akan diberikan kepada mereka dengan sangat kesakitan waktu melahirkan
(3:16). Bab-bab selanjutnya dari kitab Kejadian memperlihatkan betapa pemisahan
pasutri/keluarga pertama ini berpengaruh pada segala macam ikatan sosial;
antara Kain dan Habel, saudara sekandung yang bermusuhan dan bahkan memuncak pada
tindakan pembunuhan (Kej. 4), dan di kalangan penduduk Babel yang tak lagi
dapat saling mengerti satu sama lain (Kej. 11:1-9). Sejarah agama-agama
merupakan sebuah rentang kusut jaringan perpecahan, silih bergantinya perang
antar suku dan bangsa, antara kelompok dalam satu bangsa atau negara, jurang
pemisahan antara yang kaya dan yang miskin.
c)
Hubungan Manusia dengan Alam:
Dosa tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia
dengan sesamanya. Dosa membawa pula pengaruh buruk pada hubungan manusia dengan
alam. Akibat dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa, untuk selanjutnya tanah
menjadi terkutuk. Manusia akan memperoleh makanannya tidak lagi sebagai buah
spontan bumi, melainkan sebagai hasil jerih payah dengan berpeluh (Kej. 3:17-19).
Ciptaan lalu ditaklukkan kepada kesia-siaan (Rom. 8:20); ganti tunduk dengan
rela, alam memberontak melawan manusia. Dan ini berlangsung sampai sekarang.
Ketika pada Desember 1987 banjir besar melanda Kabupaten Polmas (kini bagian
dari Propinsi Sulbar), Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan waktu itu, Prof. Dr.
A. Amiruddin, berkomentar: “Kalau manusia berlaku tidak ramah terhadap alam,
maka alam pun akan balik berlaku tidak ramah kepada manusia”.
Dalam Ensikliknya Laudato Si’,
yang dikeluarkan pada Hari Pentakosta, 24 Mei 2015, Paus Fransiskus menulis:
“Saudari (bumi) ini kini menjerit kepada kita karena kerusakan yang telah kita
timpakan padanya dengan penggunaan dan penyalahgunaan barang-barang yang telah
dianugerahkan Allah kepadanya. Kita telah sampai melihat diri kita berlagak
sebagai tuan-tuan dan pemiliknya, yang merasa berhak menjarah dia semau kita.
Kekerasan yang ada dalam hati kita, terluka oleh dosa, juga tercermin pada
gejala-gejala penyakit yang tampak jelas pada tanah, air, udara dan pada segala
bentuk kehidupan. Inilah sebabnya bumi sendiri, yang terbebani dan terabaikan,
adalah yang paling teraniaya dan terbuang di kalangan kaum miskin kita; ia
“mengeluh kesakitan” (Rom. 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri
adalah debu tanah (bdk.Kej.2:7); tubuh kita sendiri terbentuk dari
unsur-unsurnya, kita menghirup udaranya dan kita menerima kehidupan serta
minuman dari airnya” (no. 2).
Sudah sejak pertengahan dekade 1960-an merebak ramai debat
teologis, khususnya di Amerika Utara, sekitar masalah ekologi. Para ekologist
menuduh etika Kristen, yang menekankan wewenang manusia atas alam
(bdk.Kej.1:26-28), telah melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi buta dan
budaya ekonomistik yang tidak sehat. Tentu saja para teolog Kristen menolak
tuduhan tersebut. Khususnya dalam tradisi Katolik, etika menyangkut hubungan
antara manusia dan alam tidak dibangun atas dasar pandangan antroposentrisme,
yang terasa kuat dalam Kej. 1:26-28, melainkan atas teologi inkarnasi Sabda
Allah dalam Perjanjian Baru. Atas dasar ini hubungan antara manusia dan alam
kodrati dipahami secara lebih positif dan terdapat suatu sikap bekerjasama
dengan alam. Tetapi pertanyaannya ialah, sejauh mana kita orang-orang Katolik
melandaskan sikap dan perilaku kita terhadap alam pada teologi inkarnasi dan
pada kisah taman Eden? Sejauh mana kita tidak memperlakukan ibu pertiwi secara
semena-mena, melainkan “mengusahakan dan memelihara”-nya bagai taman Eden?
3.
Membangkitkan Pertobatan Ekologis
Berawal dari Keluarga
Pertama-tama, mari kita
menyegarkan kesadaran kita lagi akan makna pertobatan sejati. Pertobatan dalam
bahasa Latin disebut conversio (kembalinya), bahasa Yunani metanoia (meta =
perubahan, nous = mentalitas), merupakan padanan kata Ibrani syûb, yang menjadi
ciri pemberitaan para nabi (Yer. 18:8; 24:7; Yeh. 33:9.11; Am. 4:6-12).
Pertobatan mengungkapkan perubahan radikal dalam diri manusia, yang mewujud
dalam tindakan dan perilaku nyata.
Di sini kita ingin mencanangkan gerakan pertobatan ekologis berawal dari
keluarga. Dalam kaitan ini barangkali kita masih ingat apa yang pernah
dikemukakan Paus Yohannes Paulus II, yang sekarang sudah santo. Beliau
mengatakan, kalau keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik.
Sesungguhnya dengan pernyataan ini beliau hanya mengetrapkan dalil sosiologi
pada Gereja. Dalam sosiologi, keluarga dipandang sebagai sel dasar masyarakat.
Kalau sel itu sehat, maka masyarakat akan sehat; sebaliknya, kalau sel itu
sakit, maka masyarakat akan sakit. Dan masyarakat manusia tidak terbayangkan
tanpa hubungan hakiki dan eksistensial dengan alam ciptaan. Selanjutnya,
kebenaran dalil sosiologis tentang sentralnya posisi keluarga dalam keutuhan
ciptaan sesungguhnya mempunyai landasan biblis yang kuat. Bukankah, sebagaimana
kita sudah lihat, Allah menciptakan manusia pria dan wanita dan menempatkan
pasutri pertama itu di taman Eden? Dan apa yang disebut “dosa asal” itu pada
hakekatnya adalah dosa keluarga pertama, Adam dan Hawa! Maka gerakan pertobatan
ekologis yang berawal dari keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis.
Pertama-tama kita harus berpegang pada kebenaran iman, bahwa dalam Kristus
segala sesuatu telah ditebus. Namun, di lain pihak, penebusan dalam Kristus
tidak menghapus kehendak bebas manusia. Manusia tetap dapat menerima dan setia
pada Allah atau, sebaliknya, menolak Allah. Karena itu, pusat pewartaan Yesus
adalah: “Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil”
(Mrk. 1:15//Mat. 3:2; 4:17).
Bagaimana secara konkret pertobatan ekologis itu mewujud dalam
keluarga? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mulai dengan
memperhatikan keprihatinan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’. Beliau
menulis: “Patut disayangkan, banyak upaya mencari solusi-solusi konkret
terhadap krisis lingkungan telah terbukti tidak efektif, tidak saja karena
adanya oposisi yang kuat melainkan juga karena kurangnya kepedulian secara
umum. Sikap-sikap yang menghalangi, juga di kalangan kaum beriman, dari
menyangkal adanya masalah ke sikap acuh tak acuh, tak ambil pusing atau
kepercayaan buta pada solusi-solusi teknis. Kita membutuhkan suatu solidaritas
baru dan universal…Kita semua dapat bekerjasama sebagai alat-alat (dalam
tangan) Allah untuk memelihara ciptaan, masing-masing menurut budaya,
pengalaman, keterlibatan dan talenta sendiri-sendiri” (no. 14).
Kembali ke lembaga keluarga, simaklah anekdot ini: Alkisah,
adalah suatu keluarga yang sibuk membangun rumah. Kemudian datanglah seorang
membawa berita, bumi sedang terbakar. Tetapi keluarga itu tidak peduli. Mereka
hanya fokus pada upaya menyelesaikan segera pembangunan rumah mereka. Ketika
rumah sudah selesai dibangun, baru mereka sadar tidak ada tempat lagi untuk
meletakkan rumah itu, karena bumi sudah terbakar hangus. Kiranya pesan cerita
kecil ini jelas. Dalam hal memelihara dan menjaga bumi, sang ibu pertiwi, tak
ada satu keluarga pun yang boleh mengambil sikap tak peduli. Barangkali
keluarga anda bukanlah pengusaha besar kayu yang telah merusak hutan dalam
skala besar, bukan industrialis yang menyebabkan polusi udara dan air, bukan pula
pengusaha tambang yang menggunduli kulit bumi sampai terancam menjadi padang
pasir, dst.! Mungkin keluarga anda hanyalah keluarga sederhana. Tetapi setiap
keluarga, tak terkecuali keluarga anda menjadi si alamat seruan Paus
Fransiskus, untuk menjadi alat-alat di tangan Allah dalam memelihara keutuhan
ciptaan.
Hendaknya ritus tobat yang kita ucapkan pada setiap awal perayaan Ekaristi tidak tinggal menjadi kata-kata hampa, tanpa makna. Kita berkata, dan selanjutnya menepuk dada: “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa”. Pentinglah memperhatikan rumusan, berdosa “dengan perbuatan dan kelalaian”. Berdosa “dengan perbuatan” adalah tindakan melanggar hukum moral dengan tahu dan mau. Berdosa “dengan kelalaian” ialah tidak membuat apa yang seharusnya dibuat. Jadi, lalai memelihara lingkungan, lalai menjaga keutuhan ciptaan adalah dosa!
Hendaknya ritus tobat yang kita ucapkan pada setiap awal perayaan Ekaristi tidak tinggal menjadi kata-kata hampa, tanpa makna. Kita berkata, dan selanjutnya menepuk dada: “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian. Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa”. Pentinglah memperhatikan rumusan, berdosa “dengan perbuatan dan kelalaian”. Berdosa “dengan perbuatan” adalah tindakan melanggar hukum moral dengan tahu dan mau. Berdosa “dengan kelalaian” ialah tidak membuat apa yang seharusnya dibuat. Jadi, lalai memelihara lingkungan, lalai menjaga keutuhan ciptaan adalah dosa!
Kalau setiap keluarga Katolik sudah sampai pada kesadaran itu,
ia akan terdorong untuk berubah. Kita telah melihat, pertobatan pertama-tama
berarti perubahan mental, yang selanjutnya terungkap keluar dalam perilaku,
tindakan. Paus Fransiskus mengajak kita melibatkan diri dalam memelihara
lingkungan menurut budaya, pengalaman, posisi dan bakat kita masing-masing.
Yang paling penting dan mendasar ialah upaya setiap keluarga membangun
kesadaran akan tanggungjawab memelihara lingkungan, dan selalu mengingat bahwa
mengabaikan tanggungjawab tersebut adalah dosa kelalaian! Dan jangan lupa,
kelalaian memelihara lingkungan adalah sekaligus dosa terhadap Allah, Sang
Pencipta, yang pada awalmula menempatkan pasutri pertama di taman Eden, untuk
mengusahakan dan memeliharanya! Bahwa kelalaian merawat lingkungan adalah juga
dosa sosial, dosa terhadap sesama, itu dengan sendirinya jelas. Bukankah,
misalnya, membuang sampah ke selokan di samping rumah kita dan menyebabkan air
tidak dapat mengalir pada musim hujan, akan merugikan tetangga-tetangga kita
pula?
Jadi, kita melihat dosa kelalaian merawat lingkungan adalah
sekaligus dosa terhadap Sang Pencipta dan terhadap sesama. Hal ini jelas pada
apa yang disebut “dosa asal”, dosa pasutri pertama, Adam dan Hawa. Dosa
terhadap Allah sekaligus merusak relasi antar mereka (relasi sosial) dan relasi
mereka dengan lingkungan (alam). Karena itu pertobatan kita pada Masa Prapaskah
tidak dapat hanya dengan berupa upaya memperbaiki hubungan kita dengan Allah,
dan mengabaikan perbaikan hubungan dengan sesama dan dengan alam ciptaan.
Kembali ke gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga, kita perlu berpaling ke Keluarga Kudus Nazaret untuk mendapatkan inspirasi. Inti spiritualitas Keluarga Kudus ialah ketaatan total kepada kehendak Allah. Ini persis bertolak-belakang dengan inti dosa pasutri/keluarga pertama, Adam dan Hawa, yaitu ketidaksetiaan kepada perintah Allah, dan sendiri mau “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Maria (ibu keluarga) menegaskannya dengan kata-kata: “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Yusuf (bapa keluarga) mengungkapkannya bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti apa yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (Mat. 1:24). Dan, seperti kata pepatah, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya; sikap dasar itu turun kepada sang anak. Yesus merumuskannya dalam bentuk doa: “Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42).
Kembali ke gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga, kita perlu berpaling ke Keluarga Kudus Nazaret untuk mendapatkan inspirasi. Inti spiritualitas Keluarga Kudus ialah ketaatan total kepada kehendak Allah. Ini persis bertolak-belakang dengan inti dosa pasutri/keluarga pertama, Adam dan Hawa, yaitu ketidaksetiaan kepada perintah Allah, dan sendiri mau “menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5). Maria (ibu keluarga) menegaskannya dengan kata-kata: “Sesungguhnya aku adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Yusuf (bapa keluarga) mengungkapkannya bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti apa yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya” (Mat. 1:24). Dan, seperti kata pepatah, buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya; sikap dasar itu turun kepada sang anak. Yesus merumuskannya dalam bentuk doa: “Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42).
Kesetiaan total kepada Allah sekaligus mewujud dalam relasi
dengan orang lain, berupa perhatian, keprihatinan, belarasa, kasih, khususnya
kepada mereka yang miskin dan menderita. Mengenai segi ini memang Injil tak
banyak bicara tentang orang tua Yesus. Tetapi itu tidak berarti orang tua Yesus
kurang peduli terhadap sesama. Kita melihat kepekaan Maria terhadap kesulitan
yang sedang dihadapi orang lain, misalnya pada pesta perkawinan di Kana. Dan
bahwa kemudian sang Anak tampil sebagai pribadi yang peka terhadap penderitaan
orang lain, yang rela mengorbankan diri karena kasih terhadap sesama, itu tentu
berkat didikan orang tua-Nya.
Lalu bagaimana sikap dan perhatian Keluarga Kudus Nazaret
terhadap lingkungan hidup? Hal ini memang sulit ditelusuri dalam Injil.Tetapi
jangan dilupakan, bahwa masalah serius menyangkut ekologi baru mulai sejak abad
ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam
melahirkan revolusi teknologis, yang secara harafiah merubah muka bumi.
Seandainya Keluarga Kudus Nazaret hidup pada zaman sekarang, mereka tentu akan
menjadi teladan dalam merawat keutuhan ciptaan! Tetapi tidakkah setiap keluarga
Katolik pada dewasa ini terpanggil menjadi Keluarga Kudus Nazaret?
4.
Pendidikan Anak Berwawasan
Ekologis
Di atas kita terutama mengarahkan
pesan ekologis kepada orang tua dalam keluarga. Tentu saja kita tidak boleh
melupakan anak-anak, generasi penerus yang akan mewarisi bumi sebagai rumah
bersama dan sebagai “ibu yang menopang dan membimbing kita, dan yang
menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dengan bebungaan berwarna-warni serta
bumbu-bumbuan” (Madah Makhluk Fransiskus Asisi; Laudato Si’, no. 1).
Gereja selalu memandang keluarga sebagai sekolah pertama. Dasar pertimbangannya
ialah karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak. Oleh sebab
itu orang tua terikat kewajiban teramat berat untuk mendidik anak-anak mereka;
orang tualah pendidik pertama dan utama anak-anaknya. Dalam keluargalah
anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta
Gereja. Melalui keluargalah akhirnya mereka lambat laun diajak berintegrasi
dalam masyarakat manusia dan umat Allah dalam dunia (lih. GE,1).
Kecuali itu, harus disadari betapa pentingnya pendidikan nilai
bagi anak-anak kita sejak dini. Sebab apa yang diterima dan dialami anak
manusia pada masa kecilnya akan tetap tinggal dan berpengaruh dalam hidupnya di
masa dewasa. Semakin dalam pengalaman di masa kecil itu tertanam, akan semakin
besar pengaruhnya kelak dalam hidupnya sampai akhir. Karena itu pendidikan
berwawasan ekologis bagi anak-anak amat penting dan sangat strategis.
Lalu apa yang secara konkret dapat diberikan orang tua dalam pendidikan berwawasan ekologis kepada anak-anaknya? Menurut hemat saya, sesuai dengan tingkat perkembangan daya tangkap si anak, orang tua perlu menceritakan (berkisah) tentang apa yang sudah dibahas dalan nomor 1 dan 2 Surat Gembala Prapaskah ini. Orang tua dan kakak-kakak perlu berkisah kepada anggota keluarga yang masih kecil tentang betapa indahnya rencana Allah pada awal mula ketika menciptakan langit dan bumi serta isinya, yang memuncak pada penciptaan manusia, Adam dan Hawa. Tetapi rencana Tuhan yang indah itu dirusak oleh dosa manusia, yang melawan perintah Tuhan dan mau menjadi Tuhan sendiri. Selanjutnya berkisah tentang dosa terhadap Allah adalah sekaligus dosa terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan. Dalam berkisah mengenai semua segi itu, hendaknya diberi contoh-contoh nyata dari apa yang terjadi dewasa ini akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam: pengotoran air akibat pembuangan sampah dan limbah industri secara sembarangan; polusi udara; banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan; perubahan iklim yang tidak menentu; panas bumi yang semakin meningkat yang mengancam cairnya gunung es di kutub selatan, dan akan menyebabkan permukaan bumi yang rendah akan tenggelam; dst. Tetapi anak-anak juga harus dididik untuk memelihara lingkungannya, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, menanam tanaman dan pohon. Sesekali juga hendaknya seluruh keluarga mengadakan wisata alam.
Lalu apa yang secara konkret dapat diberikan orang tua dalam pendidikan berwawasan ekologis kepada anak-anaknya? Menurut hemat saya, sesuai dengan tingkat perkembangan daya tangkap si anak, orang tua perlu menceritakan (berkisah) tentang apa yang sudah dibahas dalan nomor 1 dan 2 Surat Gembala Prapaskah ini. Orang tua dan kakak-kakak perlu berkisah kepada anggota keluarga yang masih kecil tentang betapa indahnya rencana Allah pada awal mula ketika menciptakan langit dan bumi serta isinya, yang memuncak pada penciptaan manusia, Adam dan Hawa. Tetapi rencana Tuhan yang indah itu dirusak oleh dosa manusia, yang melawan perintah Tuhan dan mau menjadi Tuhan sendiri. Selanjutnya berkisah tentang dosa terhadap Allah adalah sekaligus dosa terhadap sesama dan terhadap alam ciptaan. Dalam berkisah mengenai semua segi itu, hendaknya diberi contoh-contoh nyata dari apa yang terjadi dewasa ini akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam: pengotoran air akibat pembuangan sampah dan limbah industri secara sembarangan; polusi udara; banjir dan tanah longsor akibat penggundulan hutan; perubahan iklim yang tidak menentu; panas bumi yang semakin meningkat yang mengancam cairnya gunung es di kutub selatan, dan akan menyebabkan permukaan bumi yang rendah akan tenggelam; dst. Tetapi anak-anak juga harus dididik untuk memelihara lingkungannya, tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan, menanam tanaman dan pohon. Sesekali juga hendaknya seluruh keluarga mengadakan wisata alam.
Akhirnya, selamat menjalani Masa Prapaskah, khususnya selamat
memulai gerakan pertobatan ekologis berawal dari keluarga Anda! Tuhan
memberkati kita semua!
Makassar, 17 Februari 2017
+John Liku-Ada’

Tidak ada komentar:
Posting Komentar